NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN
LUAR NEGERI
LUAR NEGERI
BAB IV
NERACA
PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN
LUAR NEGERI
LUAR NEGERI
A. PENDAHULUAN
Salah satu tugas pokok Pemerintah selama Repetita I
ada- lah melaksanakan program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi sebagai landasan bagi pembangunan jangka panjang berdasarkan
kekuatan sendiri. Hal ini berarti bahwa kemampuan kita harus ditingkatkan untuk
menggali dana-dana yang tidak kecil bagi pembiayaan pembangunan. Di samping
dana-dana dalam negeri dalam bentuk tabungan masyarakat dan tabungan Pemerintah,
diperlukan pula banyak devisa untuk mengimpor barang dan jasa
terutama bahan baku dan barang modal yang belum dapat kita
hasilkan sendiri. Oleh karena itu maka usahausaha untuk meningkatkan
penghasilan devisa yang berasal dari ekspor dan usaha-usaha untuk menghemat
devisa melalui pengendalian impor merupakan
kebijaksanaan utama di bidang perdagangan luar negeri selama
Repelita I. Pinjaman dan penanaman modal dari luar negeri sebagai sumber
pembiayaan pelengkap juga telah menunjang usaha usaha pembangunan selama
pelaksanaan Repelita I akan tetapi dengan peranan yang semakin
berkurang. Penyelesaian masalah-masalah hutanghutang lama,
kebijaksanaan tentang persyaratan hutanghutang baru dan laju pertumbuhan
ekspor telah menghasilkan suatu perkembangan yang menggembirakan dari neraca
pembayaran Indonesia selama masa 1969/70 - 1973/74.
Perkembangan neraca pembayaran Indonesia selama
Repeli- ta I sangat dipengaruhi oleh
perkembangan politik dan ekonomi dunia. Selama masa tersebut ekonomi dunia
ditandai oleh pergolakan-pergolakan di bidang
perdagangan dan sistem pemba-
199
yaran internasional yang berlangsung hingga saat ini. Masalahmasalah yang berkaitan dengan hambatan
perdagangan, kelangkaan dalam
persediaan pangan, sumber-sumber
tenaga dan bahan baku, ketidak pastian dalam nilai valuta
negara-negara industri serta laju inflasi
internasional merupakan rintanganrintangan yang berat terhadap usaha-usaha ke arah
perluasan perdagangan internasional
dan kestabilan sistem moneter dunia. Khususnya
untuk negara-negara yang sedang berkembang, kegoncangan yang terjadi di bidang perdagangan dan keuangan internasional membawa serta berbagai pengaruh
yang tidak menentu pada perdagangan
luar negeri dan laju pembangunan di dalam
negeri.
Kegoncangan dalam sistem keuangan internasional pada azasnya bersumber pada kenyataan bahwa perjanjian Bretton Woods yang diciptakan pada tahun 1944 tidak
sesuai lagi dengan perkembangan
ekonomi internasional. Dalam kerangka perjanjian Bretton Woods ini maka sistim moneter dunia setelah Perang Dunia kedua digantungkan pada dollar Amerika
Serikat yang pada gilirnya dikaitkan
dengan emas. Dengan demikian, dollar
Amerika Serikat memegang peranan yang menentukan dalam sistem pembayaran dan perdagangan internasional sebagai cadangan devisa utama di samping emas. Akan
tetapi de-ngan perkembangan yang pesat dari negara-negara industri di
Eropa Barat dan Jepang, ketergantungan negara-negara tersebut pada dollar secara berangsur-angsur
berkurang. Sementara itu neraca
pembayaran Amerika Serikat mulai
menunjukkan defisit. Keadaan ini
disertai pula dengan penurunan nilai dollar
di negara tersebut akibat
kenaikan dalam tingkat harga. Kedudukan dollar juga diperlemah oleh karena
mengalirnya dollar ke pasaran valuta
di Eropa Barat dan Jepang dalam bentuk penanaman modal antar-bank dan dana jangka pendek yang bersifat spekulatif.
Salah satu
tindakan untuk menanggulangi krisis moneter
yang mulai berkembang sekitar tahun 1969, adalah diciptakannya Special
Drawing Rights (SDR) sejak bulan Januari 1970
200
guna menghadapi kelangkaan dalam
likwiditas internasional. Dengan penyesuaian dan perkembangan SDR diharapkan
bah-wa peranannya akan dapat diperluas
dan peranan dollar dapat dikurangi. Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1971 Pemerintah Amerika Serikat mengambil serangkaian
tindakan-tindakan yang pada pokoknya
terdiri dari pengurangan bantuan kepada negara-negara yang sedang berkembang sebesar 10 persen; pembatalan konvertibilitas dollar terhadap emas
serta penetap- an pungutan tambahan sebanyak 10 persen pada
barang-barang impor.
Dalam rangka usaha untuk memulihkan stabilitas moneter internasional maka pada tanggal 18
Desember 1971 telah dicetuskan Perjanjian Smithsonian yang mengatur perubahan dalam paritas valuta negara-negara
industri yang termasuk Kelompok Sepuluh. Setelah itu, perkembangan moneter dunia rnula1 menuju ke arah yang relatif stabil selama beberapa bulan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1972 mulai terli-hat lagi
kelemahan yang pada hakekatnya terletak dalam sis-tem
Bretton Woods.
Dengan memperhatikan perkembangan
tersebut di atas, oleh Dana Moneter
Internasional dianggap perlu untuk menjajagi suatu sistim moneter internasional
baru dengan peraturan-peraturan tertentu yang harus dipatuhi oleh semua
negara anggotanya. Untuk tujuan inilah
dibentuk "Pantia-20" dalam
bulan Juli 1972 berdasarkan suatu resolusi Dewan Gubernur Dana Moneter Internasional. Panitia ini ditugaskan untuk
merancangkan pembaharuan sistem
moneter dunia dan beranggota-kan Menteri-menteri Keuangan dari 11 negara
maju dan 9 negara yang sedang berkembang
yang mewakili seluruh anggota Dana Moneter Internasional. Adapun ketua
"Panitia-20" tersebut adalah
Menteri Keuangan Indonesia.
Setelah mengadakan sidang sebanyak 5 kali untuk memba- has berbagai aspek yang menyangkut pembaharuan sistem moneter dunia, maka dalam bulan Januari 1974, Panitia-20 telah
mencapai persetujuan prinsip tentang arah dan garisgaris
besar suatu sistim moneter yang baru.
Di lain pihak,
201
dengan timbulnya masalah yang bertalian dengan krisis
energi dan bahan baku, diputuskan pula bahwa pelaksanaan sistim moneter yang
baru secara menyeluruh diundurkan hingga
saat yang lebih tepat dari pada dewasa ini. Untuk jangka pen-dek,
langkah-langkah yang disetujui antara lain meliputi: pedoman untuk pengaturan
kurs valuta yang sekarang mengambang; penciptaan suatu fasilitas dalam Dana
Moneter Internasional untuk membantu negara-negara sedang berkembang
menghadapi pengaruh kenaikan biaya impor minyak bumi dan hasil-hasilnya;
penghindaran restriksi pada pembayaran dan perdagangan internasional karena
tekanan neraca pembayaran serta penyempurnaan sistim SDR sebagai cadangan utama
yang baru; dan peletakan kaitan antara SDR dengan bantuan keuangan pada
negara-negara yang sedang berkembang.
Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indone- sia, dengan sendirinya tidak dapat
menghindarkan diri dari pengaruh gejolak krisis moneter dunia. Pola perdagangan
dan lalu lintas modal luar negeri negara-negara berkembang ter- jalin erat dengan perkembangan ekonomi dan
moneter di nega-ra-negara maju.
Negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi
yang pesat dalam tahun-tahun 1968 dan 1969. Dalam tahun-tahun 1970 dan 1971,
laju pertumbuhan produksi riil di negara-negara industri turun menjadi sekitar
3 persen, yaitu rata-rata 1 persen, di Amerika Serikat, 8 persen di Jepang, dan
4 persen di Eropa Barat. Dalam tahun 1972 dan 1973, ekonomi dunia mengalami
masa ekspansi kembali yang disebabkan oleh karena kenaikan kegiatan produksi di
negara-negara industri. Pertumbuhan produksi di negara-negara industri.
Pertumbuhan produksi riil selama masa tersebut adalah sekitar rata-rata 6
persen untuk Amerika Serikat, 10 persen di Jepang, dan 5 persen di Eropa Barat.
Dalam tahun 1971, perkembangan perdagangan dari negaranegara yang sedang
berkembang terganggu, akibat memuncak-nya krisis moneter internasional. Volume perdagangan dunia
202
dalam tahun tersebut mengalami kenaikan sebanyak 6 persen
sedangkan nilai perdagangan meningkat dengan 12 persen. Pada waktu yang
bersamaan, volume dan nilai ekspor negara-negara berkembang masing-masing hanya
meningkat dengan 5 persen dan 4 persen, sedangkan volume dan nilai impor
negara-negara tersebut mengalami peningkatan sebesar 7 persen dan 13 persen. Dengan demikian maka dalamm tahun 1971
nilai tukar perdagangan untuk negara-negara berkembang telah merosot dengan 6,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sejak tahun 1972 negara-negara yang
berkembang menghadapi pula krisis pangan yang disertai dengan kenaikan da- lam harga bahan pangan seperti
beras dan gandum. Krisis energi dan bahan baku merupakan suatu
kejadian internasional lainnya sejak pertengahan kedua tahun 1973 yang
mempunyai bermacam pengaruh yang sangat mendalam pada neraca pembayaran dan
laju pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia. krisis energi telah
mengakibatkan kenaikan yang besar di dalam harga minyak bumi dan membawa
keuntungan dalam bentuk peningkatan penerimaan devisi bagi negara-negara pengekspor minyak termasuk
Indonesia. Di lain pihak krisis tersebut telah pula meningkatkan tarif angkutan
dan harga bahan baku yang mempergunakan minyak bumi atau hasilnya sebagai bahan
men-tah, antara lain pupuk. Krisis ini
menyebabkan bahwa dalam tahun 1973 volume dan nilai ekspor negana-negara sedang berkembang
yang bukan merupakan pengekspor minyak bumi menunjukkan kenaikan sebesar masing-masing 7 persen dan 36 persen, sedangkan
volume dan nilai ekspor negara-negara sedang berkembang yang termasuk golongan
pengekspor minyak meningkat dengan masing-masing 12 persen dan 56 persen. Dilihat
dari segi impor, maka volume dan nilai
impor negara-ne gara sedang berkembang di luar pengekspor minyak menga-
lami kenaikan sebesar masing-masing 9 persen dan 31 persen. Untuk
negara-negara sedang berkembang pengekspor minyak maka kenaikan dalam volume
dan nilai impor masing-masing adalah
sebesar 20 persen dan 42 persen. Volume perdagangan
203
dunia pada tahun yang sama berkembang dengan 12 persen
sedangkan nilainya meningkat dengan 37 persen. Kenaikan dalam nilai ekspor negara-negara yang
sedang berkembang, di samping kenaikan
dalam harga minyak bumi, juga disebabkan oleh karena kecenderungan meningkatnya harga hasil-hasil ekspor primer dipasaran dunia yang drsebabkam oleh ekpansi ekonomi dan kenaikan permintaan dari
pihak negara-negara industri.
Kenaikan dalam nilai impor negara-negara sedang berkembang adalah akibat meningkatnya harga minyak bumi dan hasil-hasilnya, harga bahan baku
seperti pupuk dan semen serta melonjaknya laju inflasi secara umum di negara-negara industri. Laju inflasi di
negara-negara tersebut dalam tahun 1973 adalah sebesar 7,1 persen dibandingkan dengan 4,9 persen dalam tahun sebelumnya. Perkembangan
di atas membuktikan betapa besar
perdagangan negara-negara yang sedang berkembang masih bergantung kepada tingkat dan fluktuasi kegiatan
ekonomi di negara-negara
yang maju.
Kegoncangan politik dan ekonomi internasional beserta berbagai unsur ketidak pastian di masa
depan menghendaki peningkatan
kewaspadaan guna mempertahankan kemantapan neraca pembayaran dan meningkatkan pembangunan nasional. Untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan dalam sistim moneter internasional dan pola
perdagangan internasional, negara-negara berkembang telah mengambil berbagai tindakan baik atas dasar kerja sama
multilateral maupun dalam kerang- ka kerja sama regional. Dalam hubungan ini,
maka kemajuan yang hingga kini diperoleh dalam
rangka kerja sama antar negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan gejala yang menggembirakan yang senantiasa perlu
ditingkatkan.
B. NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL
1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan
Luar Negeri.
Kebijaksanaan
Pemerintah di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri
selama masa Repelita I berpangkal tolak
204
pada sasaran utama pembangunan jangka panjang yaitu terciptanya landasan yang kuat untuk
tumbuh dan berkembang atas kekuatan
sendiri. Di samping itu, kebijaksanaan dutujukan pula untuk mengurangi ketergantungan pada perkembaugan moneter dan perdagangan internasional
dan untuk menghadapi pengaruh yang
tidak menguntungkan yang bersumber pada pergolakan ekonomi dunia.
Selama periode 1969/70-1973/74, telah
diambil berbagai tindakan untuk
mendorong laju pembangunan dan memungkin- kan perobahan struktur ekonomi
dan perdagangan luar negeri serta pemupukan
cadangan devisa melalui pengembangan ekspor, pengendalian impor, dan
pemanfaatan modal luar negeri.
Di bidang ekspor telah diambil langkah-langkah ke arah peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi dalam
komposisi dan pasaran, peningkatan
mutu dan standarisasi, pengolahan lebih lanjut dari hasil-hasil ekspor
serta perbaikan dalam pola pemasaran. Untuk pengembangan
barang-barang ekspor baru telah
dibentuk Lembaga Pengembangan Ekspor Nasional da- lam tahun 1971 dengan tugas penelitian
pemasaran produk baru serta
penyediaan informasi dan bantuan kepada para eksportir dalam hal pemasaran dan
pengembangan ketrampilan. Guna
mendorong pertumbuhan ekspor barang-barang baru melalui fasilitas fiskal juga telah dirintis gagasan
"wilayah pengolahan ekspor"
dan "wilayah bebas bea masuk" di samping fasilitas "bonded warehouse". Untuk
menghadapi pasaran du-nia yang
semakin tajam persaingannya dan memperkuat kedudukan Indonesia sebagai negara
produsen dan eksportir hasil
pertanian, telah dijalankan berbagai usaha pemasaran bersama dalam rangka kerja sama internasional
maupun regional. Demikian juga telah
dimulai langkah-langkah untuk mengembangkan
pasaran baru seperti Australia dan Selandia Baru, negara-negara Sosialis
dan Eropa Timur, dan negaranegara di
wilayah Asia khususnya ASEAN.
Kebijaksanaan impor selama Repelita I ditujukan pada sa
saran penyediaan barang pokok dalam rangka program stabi
205
lisasi harga dan penunjangan produksi dengan menjamin arus
bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan. Pertumbuhan produksi dalam negeri
dalam sektor-sektor industri yang diutamakan juga berarti perubahan dalam pola
impor sehingga terjadi pergeseran dari impor barang jadi ke arah impor barang
modal dan bahan baku. Kebijaksanaan substitusi impor ini terutama berbentuk
perlindungan melalui tingkat bea masuk dan
bila perlu melalui pembatasan dan
pelarangan impor barang yang sudah dapat dihasilkan di dalam negeri.
Dalam kerangka kebijaksanaan perdagangan luar negeri, penyempurnaan dibidang tata-niaga ditujukan untuk mendorong
produksi, mengembangkan usaha
bagi produsen dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja yang baru.
Bersamaan dengan itu, tindakan yang bertalian
dengan penurunan biaya
ekspor dan impor, pengawasan
kwalitas, pelarangan ekspor dengan
mutu yang rendah, penyederhanaan prosedur ekspor dan impor serta
peningkatan penelitian telah banyak membantu
kelancar- an pemasaran
barang-barang ekspor dan impor.
Dengan dilaksanakannya kebijaksanaan Pemerintah di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri dalam bulan
April 1970 dan tindakan lainnya selama tahun 1970, maka perbedaan
antara berbagai kurs transaksi dengan luar negeri dihapuskan.
Kebijaksanaan yang ditempuh pada
waktu itu meliputi penyatuan kurs Bonus Ekspor (BE)
dan Devisa Pelengkap (DP), penghapusan Pungutan Ekspor dan Alokasi Devisa
Otomatis (ADO), serta penggantiannya dengan pajak devisa sebesar 10 persen. Di lain pihak ekspor
barang jadi dan hasil kerajinan rakyat dibebaskan dari pajak devisa tersebut.
Selama tahun 1971 perdagangan luar negeri Indonesia mengalami pengaruh yang tidak
menguntungkan akibat kegoncang- an
dalam perdagangan dan keuangan internasional. Untuk memperkuat posisi Indonesia
di pasaran dunia, setelah pertengahan
tahun 1971 Pemerintah mengambil tindakan untuk mengurangi atau menghapus
berbagai beban ekspor seperti pu-
206
ngutan cess dan biaya survey dan
menyesuaikan nilai tukar devisa dalam bulan Agustus 1971.
Akibat terus berlangsungnya krisis moneter ditambah pula dengan kenaikan
harga minyak bumi dan bahan baku internasional, laju inflasi dunia berkembang
dengan pesat. Keadaan ini juga
mempengaruhi Indonesia sehingga tahun terakhir Repelita I ditandai oleh masalah kenaikan
harga dalam negeri terutama harga-harga bahan kebutuhan hidup dan barang-barang
yang diperlukan untuk kegiatan produksi. Pemerintah kemudian melaksanakan
seran;gkaian kebijaksanaan di bidang ekonomi dan
moneter untuk menanggulangi masalah
tersebut.
2. Perkembangan Neraca Pembayaran.
Perkembangan perdagangan dan investasi luar negeri menunjukkan kemajuan di
berbagai sektor neraca pembayaran (lihat Tabel IV - 1). Nilai ekspor sejak
tahun 1969/70 hingga tahun 1973/74
menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 36,4 persen setiap tahun. Apabla dibandingkan dengan tahun 1968 maka
laju pertumbuhan tersebut adalah sekitar 31 persen setiap tahun. Dalam tahun
1969/70 ekspor baru mencapai nilai
US $ 1.044 juta dibandingkan dengan US $ 872 juta dalam tahun 1968.
Dalam tahun 1973/74 nilai ekspor diperkirakan telah mencapai US $ 3.613 juta.
Kenaikan yang paling pesat dicapai dalam tahun 1973/74 di mana ekspor meningkat dengan 86,3 persen
dibandingkan dengan tahun 1972/73.
Nilai ekspor di luar minyak bumi telah meningkat dari US $ 660 juta dalam tahun 1969/70
menjadi US $ 1.905 juta dalam tahun 1973/74, atau suatu peningkatan rata-rata
sebesar 30,3 persen (per tahun. Dalam periode yang sama ekspor minyak bumi
telah meningkat rata-rata sebesar 45,2 persen setiap tahun, yakni dari US $ 384 juta menjadi. US $ 1.708 juta.
Dalam tahun terakhir Repelita I
ekspor di luar minyak bumi telah meningkat dengan 95,6 persen, sedangkan ekspor
minyak
207
bumi
meningkat dengan 77,0 persen dibandingkan dengan tahun 1972/73.
Seperti halnya dengan ekspor, nilai impor juga menunjukkan peningkatan yang
semakin pesat sejak tahun 1969/70. Nilai impor telah meningkat dari US $ 1.097
juta dalam tahun 1969/ 70 menjadi US $ 3.053 juta dalam tahun 1973/74, atau
suatu peningkatan sebesar rata-rata 29,2 persen per tahun. Laju peningkatan
tersebut adalah sedikit lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun 1968.
Kenaikan yang paling pesat dicapai dalam tahun 1973/74 di mana impor telah
meningkat dengan 84,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat Tabel
IV - 1).
Nilai impor di luar minyak bumi telah meningkat dari US $ 1.009 juta dalam tahun 1969/70
menjadi US $ 2.592 juta dalam tahun 1973/74. Hal ini berarti suatu kenaikan
sebesar rata-rata 26,6 persen setahun. Sementara itu nilai impor minyak telah
meningkat dari US $ 88 juta menjadi US $ 461 juta, atau suatu kenaikan sebesar rata-rata 51,3
persen setahun dalam periode yang sama. Dalam tahun terakhir Repelita I impor di 1uar minyak bumi naik dengan 73,7
persen sedangkan impor minyak bumi
meningkat dengan 189,9 persen.
Pengeluaran netto untuk jasa-jasa juga menunjukkan peningkatan berhubung
dengan meningkatnya volume perdagangan dan investasi luar negeri. Pengeluaran
untuk jasa-jasa tersebut diperkirakan telah mencapai US $ 1.245 juta dalam
tahun 1973/74 atau hampir tiga kali jumlah pengeluaran dalam tahun 1969/70 yang
baru mencapai US $ 435 juta. Hal ini berarti
suatu kenaikan sebesar rata-rata 30,1 persen per tahun.
Seperti halnya dengan ekspor dan impor peningkatan pengeluaran
netto untuk jasa-jasa minyak bumi adalah lebih cepat dari pada jasa di luar
minyak bumi, yakni masing-masing 31,3 persen dan 29,0 persen untuk periode
1969/70 - 1973/74. Pengeluaran untuk jasa-jasa di luar minyak bumi dan minyak
bumi masing-masing mencapai US $ 639 juta dan US $ 606 juta dalam tahun 1973/74.
208
TABEL
IV - 1
RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN, 1968 dan
1969/70 - 1973/74
(dalam jutaam US dollar)
1)
angka sementara
2)
sampai dengan tahun 1970/71 berdasarkan pembukaan L/C, setelah
itu berdasar KPP
3)
pokok dan bunga pinjaman
209
Meskipun penerimaan devisa dari hasil ekspor telah melebihi pengeluaran
untuk impor, akan tetapi oleh karena pengeluaran untuk jasa-jasa semakin
meningkat maka defisit transaksi berjalan juga meningkat setiap tahunnya.
Transaksi berjalan telah mengalami defisit sebesar US $ 488 juta dalam tahun
1969/70. Angka tersebut meningkat menjadi US $ 685 juta dalam tahun 1973/74.
Defisit yang meningkat dengan US $ 197 juta ter- sebut disebabkan di satu pihak oleh karena
kenaikan defisit sektor di luar minyak bumi dari US $ 580 juta menjadi US $ 1.326 juta. Di lain pihak
sektor minyak menunjukkan surplus yang semakin meningkat dari US $ 92 juta
menjadi US $ 641 juta.
Defisit pada transaksi berjalan
tersebut dibiayai dari pin-jaman Pemerintah dan pemasukan modal lainnya.
Pinjaman Pemerintah setiap tahunnya selama Repelita I berturut-turut adalah US
$ 371 juta, US $ 369 juta, US $ 400 juta, US $ 481 juta, dan US $ 634 juta. Di samping itu pemasukan
modal lainnya dalam bentuk investasi
modal langsung, DICS, dan pinjaman lainnya berturut-turut adalah US $ 27 juta
dalam tahun 1969/70, US $ 115 juta dalam
tahun 1970/71, US $ 190 juta dalam tahun 1971/72, US $ 480 juta dalam tahun
1972/73, dan US $ 524 juta dalam tahun 1973/74. Jumlah SDR (Special Drawing
Right) yang telah dialokir dalam tahun 1969/70, 1970/71, dan
1971/72 berturut-turut adalah
US $ 35 juta, US $ 28 juta, dan
US $ 30 juta.
Selama Repelita I hutang-hutang Pemerintah yang telah dilunasi berjumlah
US $ 456 juta. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: pelunasan
hutang-hutang sebelum Juli 1966 sebesar US $ 268 juta, dan hutang-hutang
setelah Juli 1966 sebesar US $ 188 juta.
Berdasarkan perkembangan yang tercapai di berbagai sektor neraca pembayaram
seperti tersebut di atas, maka cadangan devisa menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Cadangan devisa tersebut mula-mula merosot dengan US $ 43
juta dan
US $ 18 juta dalam tahun 1969/70
dan 1970/71. Akan
210
tetapi sejak tahun 1971/72 cadangan tersebut mula meningkat
berturut-turut dengan US $ 100 juta dalam tahun 1971/72, US $ 425 juta dalam tahun 1972/73, dan US $ 360 juta dalam tahun 1973/74.
C. EKSPOR
Kebijaksanaan ekspor selama Repelita I terutama dimaksudkan
untuk mencapai dua tujuan seperti berikut. Pertama, memberikan penghasilan yang
lebih besar bagi kegiatan di bidang
proses produksi dan perdagangan. Kedua, menjamin kelangsungan penerimaan devisa
dalam jumlah yang memadai guna pembiayaan impor faktor-faktor produksi yang
sangat di- perlukan dalam proses pembangunan.
Berkat usaha yang tekun dan
perkembangan harga di pasar an
internasional yang pada umumnya menguntungkan ter utama pada dua tahun yang terakhir, maka
ekspor dapat ditingkatkan dengan laju yang semakin cepat. Adapun perkembangan
ekspor yang diperinci menurut semester dan triwulan dapat dilihat pada
Tabel IV - 2, Grafvk IV - 1 dan Tabel IV-3.
Tampak dari Tabel IV - 2 bahwa
ekspor senantiasa mening kat setiap
semesternya, yaitu dari US $ 513 juta dalam semester I tahun 1969/70 menjadi US $ 2.117 juta
dalam semester II tahun 1973/74. Hal ini berarti bahwa ekspor dalam semester
II tahun 1973/74 telah menjadi dua ka1i lebih besar daripada ekspor seluruh
tahun 1969/70. Kenaikan nilai ekspor tersebut dimungkinkan berkat peningkatan
yang mantap dalam ekspor minyak bumi.
Nilai ekspor minyak bumi per semester telah meningkat dari US $ 177 juta dalam semester I tahun 1969/70
menjadi US $ 1.043 juta dalam semester 11 tahun 1973/74, atau telah meningkat
menjadi hampir enam kali lipat. Kenaikan tersebut selain disebabkan oleh
kenaikan produksi dan volume ekspor juga
oleh karena kenaikan harga terutama dalam tahun terakhir Repelita I.
211
TABEL IV – 2
EKSPOR (F.O.B),
1968 dan 1969/70-1973/74
(dalam jutaan US dollar)
212
GRAFIK IV –
1
NILAI EKSPOR ( F.O.B ), 1968 dan 1969/73 – 1973/74
213
TABEL IV - 3
NILAI ESPOR DILUAR MINYAK BUMI (F.O.B)
1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
NILAI ESPOR DILUAR MINYAK BUMI (F.O.B)
1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
|
TRIWULAN
|
I
|
|
|
R E P E L I T A I
|
|
|
||||||||||||||
1969/70 1970/71
Nilai Ni1ai (Persentase
|
1971/72
Nilai (persentase
kenaikan)
|
1972/73
|
|
1973/74*)
|
|||||||||||||||||
Nilai
(persentase Nilai (persentase
|
|||||||||||||||||||||
|
kenaikan)
|
|
kenaikam)
|
|
kenaikan)
|
||||||||||||||||
I.
|
(April - Juni)
|
|
157
|
176 (12,1)
|
203
|
(15,3)
|
221
|
( 8,9)
|
383
|
( 73,3)
|
|||||||||||
II.
|
(Juli - September)
|
|
179
|
189 ( 5.6)
|
200
|
( 5,8)
|
227
|
(13,5)
|
448
|
( 97,4)
|
|||||||||||
III.
|
(Oktober - Desember)
|
|
149
|
199 (33,6)
|
192
|
( 3,5)
|
243
|
(26,6)
|
495
|
(103,7)
|
|||||||||||
IV.
(Januari - Maret)
|
|
175
|
197 (12,6)
|
189
|
( 4,1)
|
283
|
(49,7)
|
579
|
(104,6)
|
||||||||||||
|
J U M L A
H
|
|
660
|
761 (15,3)
|
784
|
( 3,0)
|
974
|
(24,2)
|
1.905
|
( 95,6)
|
|||||||||||
214
Krisis energi telah memungkinkan negara-negara penghasi1 minyak mendapatkan
harga yang lebih layak. Khususnya untuk minyak Indonesia harga yang dicapai
sampai dengan tahun 1972/73 baru sebesar US $ 2,96 per barrel. Harga tersebut
mengalami empat ka1i kenaikan dalam tahun 1973/74, sehingga menjadi US $ 10,80
tiap barrel. Nilai ekspor minyak bumi diperkirakan masih akan meningkat lagi
dalam tahun 1974/75, mengingat kemungkinan kenaikan harga yang terjadi dan kemungkinan
untuk meningkatkan produksi.
Nilai ekspor di luar minyak bumi per triwulan dalam tiga tahun pertama Repelita I menunjukkan
fluktuasi (lihat Tabel IV - 3). Hal
ini antara lain disebabkan oleh perkembangan har- ga di pasaran internasional yang tidak
menguntungkan. Harga karet merosot terus, harga kopra dan lada mula-mula naik
kemudian merosot, harga timah naik-turun. Hanya kopi yang relatif meningkat terus dalam dua tahun yang
pertama. Akan tetapi dalam tahun 1972/73 dan 1973/74 nilai ekspor per triwulan
dari semua barang-barang ekspor tersebut menunjukkan kenaikan yang semakin
mantap. Inflasi dunia dan krisis energi antara lain telah menimbulkan kenaikan
harga barang-barang ekspor kita.
Walaupun secara keseluruhan nilai ekspor di luar minyak bumi mengalami
kenaikan sebesar rata-rata 30,3 persen
setahun, akan tetapi bahan ekspor seperti kopra mengalami kemerosotan
(lihat Tabel IV - 4 dan Grafik IV - 2). Hal ini an- tara lain disebabkan oleh harga yang
merosot sejak 1970/71 sampai dengan semester pertama tahun 1973, dan permintaan
dalam negeri yang meningkat lebih pesat daripada penawaran. Walaupun harga
kopra meningkat kembali sejak Juli 1973, akan tetapi guna menjamin kebutuhan
minyak kelapa di dalam negeri ekspor dilarang, sehingga ekspor kopra dalam
tahun 1973/74 hanya mencapai nilai US $ 2,7 juta.
Kemerosotan ekspor
kopra tersebut untuk sebagian dapat dikompensir oleh kenaikan pada ekspor
bungkil kopra. Nilai ekspor bungkil kopra
telah meningkat dari US $ 3,2 juta dalam
215
TABEL IV - 4
NILAI BEBERAPA BAHAN EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI,1)
1968 dan 1969 - 1973/74
(dalam
jutaan dallar)
216
GRAFIK IV - 2
NILAI
BEBERAPA BAHAN EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI,
1968 dan 1969 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
1968 dan 1969 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
217
218
( Lanjutan Grafik IV – 2 )
219
tahun 1969/70 menjadi US $ 18,6 juta dalam tahun 1973/74.
Sementara itu ekspor minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit dan biji sawit
menunjukkan peningkatan. Nilai ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit telah
meningkat menjadi lebih dari tiga kali lipat, yaitu dari US $ 28,4 juta dalam
tahun 1969/70 menjadi US $ 95,1 juta dalam tahun 1973/74.
Kecuali kopra maka pada umumnya nilai bahan ekspor di luar minyak bumi mengalami kenaikan.
Peningkatam yang paling pesat terjadi dalam ekspor kayu. Nilai ekspor kayu
telah meningkat dari US $ 67,2 juta dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 719,8 juta dalam tahun 1973/74. Dengan
demikian di antara barang ekspor di luar negeri minyak bumi, sejak 1972/73
nilai ekspor kayu menduduki urutan nomor satu menggantikan karet.
Walaupun selama empat tahun pertama Repelita I perkembangan harga karet di
pasaran internasional tidak menguntungkan, akan tetapi volume ekspor karet
dengan berbagai kebijaksanaan masih dapat dipertahankan di atas 800 ribu ton
setiap tahunnya. Oleh karena harga di pasaran internasional telah merosot
sebesar 19,8 persen dalam tahun 1970/71 dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
dan harga tersebut tetap demikian rendahnya dalam tahun 1971/72 dan 1972/73,
maka nilai ekspor karet telah merosot setiap tahunnya. Ekspor karet telah
merosot dari US $ 325,0 juta dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 211,8 juta dalam
tahun 1972/73, atau suatu penurunan sebesar lebih dari pada sepertiga dalam
waktu empat tahun. Ekspor karet yang dalaun tahun 1969/70 - 1971/72 menduduki
tempat pertama, dalam tahun 1972/73 tergeser ketempat kedua. Dalam tahun
1973/74 harga karet telah meningkat kembali sebesar 104 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (lihat Tabel IV - 5 dan Grafik IV - 3). Walaupun harga
karet cenderung menurun sejak Pebruari 1974, namun harga rata-rata triwulan IV
1973/74 ternyata masih lebih tinggi
daripada harga tertinggi yang pernah dicapai dalam tiga triwulan sebelumnya. Peningkatan harga tersebut telah meng-
220
TABEL, IV -- 5
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1969/70 -
|
1973/74
|
|
||||||||||
Tahun
|
Bulan
|
Karet
|
K o p i
|
Kopra
|
Lada
|
Timah
|
|
|||||
1969/70
|
J u ni
|
24,47
|
25,75
|
190,10
|
34,02
|
1.436
|
|
|||||
|
September
|
26,35
|
28,99
|
205,57
|
50,77
|
1.471
|
|
|||||
|
Desember
|
22,83
|
32,85
|
245,31
|
55,53
|
1.618
|
|
|||||
|
M a r e t
|
20,88
|
33,65
|
240,53
|
57,72
|
1.576
|
|
|||||
1970/71
|
J u n i
|
19,64
|
26,24
|
218,16
|
57,25
|
1.472
|
|
|||||
|
September
|
17,35
|
38,50
|
207,22
|
63.85
|
1.517
|
|
|||||
|
Desember
|
17,62
|
36,10
|
231,50
|
55,88.
|
1.458
|
|
|||||
|
M a r e t
|
17,08
|
39,28
|
208,55
|
55,60
|
1.472
|
|
|||||
1971/72
|
J u n i
|
16,54
|
37,93
|
196,48
|
51,90
|
1.436
|
|
|||||
|
September
|
15,38
|
38,00
|
174,15
|
43,00
|
1.416
|
|
|||||
|
Oesemher
|
15,23
|
37,00
|
156,54
|
45,35
|
1,432
|
|
|||||
|
M a ret
|
16,01
|
36,43
|
141,48
|
45,00
|
1.478
|
|
|||||
1972/73
|
J u n i
|
15,43
|
35,58
|
140,06
|
46,00
|
1.452
|
|
|||||
|
September
|
15,09
|
37,48
|
137,64
|
41,45
|
7.557
|
|
|||||
|
Desember
|
19,06
|
36,33
|
161,73
|
44,50
|
1.593
|
|
|||||
|
M a r e t
|
26,90
|
42,28
|
221,71
|
52,25
|
1.736
|
|
|||||
1973/74
|
J u n i
|
31,55
|
41,50
|
311,75
|
53,00
|
1.757
|
|
|||||
|
September
|
32,14
|
42,33
|
358,31
|
62,55
|
2.070
|
|
|||||
|
Desember
|
45,54
|
43,31
|
656,20
|
62,00
|
2.738
|
|
|||||
|
M a r e t
|
42,43
|
62,31
|
899.60
|
79,92
|
3.524
|
|
|||||
Rata-rata
|
1969/70
|
24,19
|
29,98
|
213,32
|
47,82
|
1.604,86
|
|
|||||
Rata-rata
|
1970/71
|
17,93
|
36,62
|
221,13
|
59,12
|
1,495,50
|
|
|||||
Perubahan
|
1969/70 - 1970171
|
- 25,9 %
|
+ 22,2 %
|
+ 3,7 %
|
+
23,6 %
|
0,6
%
|
|
|||||
---------------------
|
------------------------------------
|
---------------------------------------------------------------
|
---------------
|
-------------------------
|
---------
|
|||||||
Rata-rata
|
1971/72
|
15,91
|
37,61
|
172,65
|
- 47,69
|
1.434,83
|
|
|||||
Perubahan
|
1970/71 - 1971/72
|
- 11,3 %
+ 2,7 %
|
- 21,9 °%
|
-19,3 %
|
-
4,1 %
|
|
||||||
------------------------------------ ----------------------------------
|
---------------------------------
|
----------
|
||||||||||
Rata-rata
1972/73
|
18,20
|
37,66
|
158,60
|
45,64
|
1,564,21
|
|
||||||
+
14,4 %
|
+ 0,1 %
|
- 8,2 %
|
- 4,3 %
|
+ 9 %
|
||||||||
Perubahan
|
1971/72 –1972/73
|
|||||||||||
-----------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
|
||||||||||||
Rata-rata
|
1973/74
|
37,11
|
45,14
|
492,07
|
63,18 2.348,42
|
|||||||
Perubahan
|
1972/73- 1973/74
|
+ 104 %o
|
+ 19,9 %
|
+ 210 %
|
+
38:4 % + 50,1 %
|
|||||||
Rata-rata
|
Triw. IV 1972/73
|
24,13
|
39,03
|
206,37
|
49,30 1.668,67
|
|||||||
Rata-rata
|
Triw. IV 1973/74
|
46,16
|
54,04
|
810,00
|
73,37 3.230,67
|
|||||||
Perubahan
|
Triw. IV 1972/73
|
|
|
|
|
|||||||
|
Triw. IV 1973/74
|
+ 91,3%
|
+ 38,5%
|
+ 292,5%
|
+ 48,,8% +93,5%
|
|||||||
Keterangan :
|
|
|
|
|
|
|||||||
Keterangan :
1) Karet RSS II, New York dalam US $ c/lb 4) Lada, Lada Hitam
ex Lampung
2) Kopi Robusta ex Palembang New York dalam US $
ct/lb New York dalam US $ ct/lb
3) Kopra Philipine Cpra, London dalam US $ 5) Timah, London dalam
x/ Longton
per long
ton
221
GRAFIK IV - 3
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,
1969/70 - 1973/74
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,
1969/70 - 1973/74
222
gairahkan kembali sektor produksi dan perdagangam
karet. Dalam
tahun 1973/74 nilai ekspor karet menjadi US $ 483,7 juta dari US $ 211,8 juta
dalam tahun 1972/73 atau
suatu peningkatan sebesar 128,4
persen.
Selain kayu, bahan ekspor lain di luar minyak bumi yang mengalami kenaikan secara mantap
adalah barang-barang hasil tambang. Selama
Repelita I ekspor timah telah meningkat dari US
$ 56,0 juta dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 97,9 juta, suatu peningkatan sebesar 74,8 persen.
Nilai ekspor yang meningkat setiap tahunnya tersebut telah memungkinkan timah untuk tetap menduduki urutan nomor tiga setelah
kayu dan karet. Dalam tahun 1970/71 dan 1972/73 kedudukan timah digeser oleh kopi ketika nilai ekspor kopi mencapai
US $ 62,7 juta dan US $ 82,9 juta. Ekspor hasil tambang di luar minyak bumi dan timah telah meningkat dari US $ 14,5
juta dalam tahun 1970/71
menjadi US $ 76,8 juta dalam tahun 1973/74. Peningkatan
tersebut selain disebabkan oleh kenaikan harga hasil tambang di pasaran internasional, juga oleh kenaikan volume ekspor.
Seperti halnya dengan
barang-barang hasil tambang, ekspor hewan
dan hasil hewan lainnya juga menunjukkan peningkatan yang mengesankan. Dalaun. periode yang sama,
yaitu 1970/71 - 1973/74 nilai ekspor hewan dan hasil-hasilnya
meningkat dari US $ 10,6 juta menjadi US $ 90,0 juta, sehingga dalam
tahun terakhir Repelita I berhasil menduduki
tempat urutan keempat setelah kayu,
karet dan timah. Adapun perkembagan nilai ekspor untuk barang-barang lainnya beserta pergeseran urutan ekspornya, dan perkembangan harga beberapa
jenis barang ekspor di pasaran internasional dapat dilihat pada
Tabe1 IV-4, IV-5 dan Grafik
V-2, IV-3.
D. IMPOR
Sebagai kelanjutan dari usaha
stabilisasi harga dan rehabili- tasi kapasitas produksi yang telah
dirintis sejak tahun 1966, kebijaksanaan impor selama Repelita I tetap diarahkan untuk
223
menunjang kegiatan produksi, perluasan kapasitas produksi
dan menjaga kemantapan harga-harga di dalam negeri. Arah kebijaksanaan tersebut
tercemin dalam berbagai tindakan di bidang penggunaan devisa, tarif bea masuk,
perpajakan, dan perkreditan.
Berbagai tindakan yang telah diambil selama ini dimaksud-kan untuk
mencapai beberapa hal sebagai berikut. Pertama, menjamin tersedianya barang-barang
penting dalam jumlah yang cukup,
seperti misalnya pupuk,
kapas, beras, terigu,
se men, besi beton, mesin dan peralatan lainnya. Barang-barang tersebut
sangat diperlukan dalam proses produksi dan dalam menjaga kemantapan
harga-harga di dalam negeri. Kedua, menjamin, penerimaan pemerintah dengan
struktur dan tingkatan tarif dan pajak sedemikian rupa sehingga dijamin
penggunaan devisa yang sebaik-baiknya dan pada waktu yang sama dapat melindungi
industri dalam negeri.-
Kenaikan harga bahan-bahan untuk keperluan pembangunan seperti pupuk,
semen, besi beton, dan sebagainya, terutama yang terjadi dalam tahun 1973/1974
tidak dapat dihindarkan. Kelangkaan
barang-barang tersebut di pasaran dunia mendorong pemerintah untuk
secara aktif ikut serta menjamin pengadaannya. Misalnya, untuk menjamin
pengadaan pupuk, telah dikirim misi ke beberapa negara guna mendapatkan
kepastian penawarannya.
Dengan berbagai kebijaksanaan seperti tersebut di atas,
maka nilai impor telah meningkat dari US $ 1.097 juta dalam tahun 1969/70
menjadi US $ 3.053 juta dalam tahun 1973/74.
Impor di luar minyak bumi telah meningkat dari US $1.009 juta dalam
tahun 1969/1970 menjadi US $ 2.592 juta dalam tahun 1973/74, sedangkan impor
sektor minyak meningkat dari US $
88 juta menjadi US $ 461 juta (Tabel IV - 6 dan Grafik IV - 4). Hal ini berarti balrwa impor
telah meningkat dengan rata-rata 29,2
persen per tahun selama periode 1969/70 -
1973/74 dengan perincian sektor minyak meningkat dengan 51,3 persen dan
sektor di luar minyak bumi sebesar 26,6 persen.
224
TABEL IV - 6
NILAI IMPOR (F.O.B.), 1968 dan
1969/70 - 1973/74
dalam jutaan dollar)
225
GRAFIK IV - 4
NILAI IMPOR (F.O.B.). 1968 dan 1969/76 – 1973/74
226
peningkatan impor yang semakin pesat tersebut mencermin-
kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri yang juga meningkat.
Dengan peningkatan produksi dalam negeri terse-maka
persentase impor barang konsumsi dari seluruh im-
por menurun dari 35,3 persen dalam tahun
1969/70 menjadi 24,6 persen
dalam tahun 1971/72 (lihat Tabe1 IV - 7 dan Gra- fik IV - 5). Dalam tahun
1972/73 bagian impor barang kon-
sumsi meningkat lagi menjadi 30,7 persen, sedang pada tahun 1973/74 persentase
barang konsumsi tetap seperti, pada tahun sebelumnya.
Peningkatan
dalam tahun 1972/73 tersebut disebabkan oleh kenaikan pada impor beras, yaitu
dari US $ 96,3 yaitu dalam tahun
1971/72 menjadi US $ 208,6 juta dalam tahun 1972/73, seang dalam tahun 1973/74
impor beras mencapai US $ 389,0 juta
(lihat Tabel IV - 8). Kenaikan nilai impor tersebut selain disebabkan oleh kenaikan harga juga
disebabkan, oleh pening- katan volume
impor, guna memenuhi cadangan nasional.
Peranan
impor barang modal semakim meningkat selama Repelita I. Persentase impor
barang modal telah meningkat dari
2 persen dalam tahun
1969/70 menjadi 37,8 persen dalam
TABEL IV - 7
PERKEMBANGAN
IMPOR TANPA MINYAK BUMI,
MENURUT GOLONGAN EKONOMI, 1968 dan 1969/70 – 1973/74 (dalam persentase)
MENURUT GOLONGAN EKONOMI, 1968 dan 1969/70 – 1973/74 (dalam persentase)
Golongan Ekonomi
|
1968
|
|
|
R E P E L I T A
|
I
|
|
||
|
|
1
|
969/70
|
1970/71
|
1971/72
|
1972/73
|
1973/74
|
* )
|
1. Barang
Konsumsi
|
46,1
|
|
35,3
|
28,8
|
24,6
|
30,7
|
30,7
|
|
2. Bahan Baku
|
39,3
|
|
35,5
|
35,4
|
41,3
|
38,5
|
31,5
|
|
3. Barang
Modal
|
14,6
|
|
29,2
|
35,8
|
34,1
|
30,8
|
37,8
|
|
JUML A H
|
100,0
|
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
|
*)
Perkiraan
227
GRAFIR IV
- 5
PERKEMBANGAN
IMPOR TANPA MINYAK BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI
1968 dan 1969/170
- 1973/74
(dalam prosentase)
228
TABEL IV - 8
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR MINYAK BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI,
1968 dan 1969/70 - 1973/74
1)
(c.i.f. dalam jutaan US dollar )
itu berdasar KPP
2) P e r k i r
a a n
229
tahun 1973/74. Kenaikan impor barang
modal tersebut teru- tama terjadi pada
mesin-mesin untuk keperluan industri dan perdagangan dan pipa besi atau baja.
Nilai impor mesim untuk industri dan perdagangan telah meningkat dari US $ 70,9
juta dalam tahun 1969/70 menjadi US $ 342,4 juta dalam tahun 1973/74. Nilai
impor alat-alat pengangkutan seperti misalnya
bis, truk dan traktor telah meningkat dari US $ 22,8 juta dalam tahun
1969/70 menjadi US $ 43,8 juta dalam tahun 1973/74.
Nilai impor bahan baku selama Repelita
I mula-mula meningkat lebih cepat daripada nilai impor sebagai keseluruhan, se-hingga
persentase impor bahan baku meningkat dari 35,5 persen dalam tahun 1969/70
menjadi 38,5 persen dalam tahun 1972/73. Dalam tahun 1972/73 persentase impor
bahan baku mulai menurun hingga mencapai 31,5 persen dalam tahun 1973/74. Hal
ini disebabkan oleh peningkatan yang pesat dari impor barangbarang konsumsi
terutama pangan.
Impor pupuk dalam
tiga tahun terakhir Repelita I menunjukkan kenaikan yang cukup pesat. Nilai
impor pupuk telah meningkat dari US $ 27,4 juta dalam tahun 1970/71,
menjadi US $ 94,7 juta dalam tahun 1973/74. Hal ini selain disebabkan oleh kemaikan
harga pupuk di pasaran internasional, juga disebabkan oleh meningkatnya volume
impor pupuk guna peningkatan produksi pertanian, khususnya beras.
E. BANTUAN LUAR NEGERI
Sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman de- ngan syarat-syarat yang lunak ataupun dalam
bentuk sumbangan (grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan
internasional yang tergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI).
Selama masa Repelita I dapat disediakan empat macam bantuan luar negeri, yaitu : bantuan devisa kredit, bantuan pangan, bantuan proyek dan bantuan tehnik. Dana bantuan luar
230
negeri senantiasa digunakan untuk tujuan tujuan yang
sifatnya dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan produksi dan kesejahteraan sosial dalam rangka pembangunan nasional.
Di samping
devisa yang tersedia dari hasil ekspor, bantuan devisa kredit
dan pangan merupakan sumber tambahan bagi pembiayaan impor barang
modal, bahan baku dan pangan yang dibutuhkan untuk memperkuat laju pembangunan.
Lagi pula nilai lawan dari bantuan program ini dalam bentuk rupiah merupakan
tambahan biaya anggaran pembangunan.
Bantuan proyek berbentuk pembiayaan berbagai macam proyek
pembangunan seperti proyek-proyek listrik, telekomunikasi, pengairan,
pendidikan, keluarga berencana, dan prasarana lainnya. Proyek-proyek tersebut
dipersiapkan secara hati-hati berdasar penyusunan feasibility study yang
meneliti berbagai aspek teknis, sosial, dan ekonomis. Pelaksanaan proyek-proyek
yang telah disetujui dilakukan menurut prosedur tertentu sesuai dengan
persyaratan-persyaratan dari negara-negara atau badanbadan internasional yang
memberikan bantuan.
Bantuan teknik umumnya diperoleh dalam bentuk pengiriman
tenaga-tenaga untuk pendidikan akhli, jasa-jasa tenaga akhli yang dikaitkan
dengan sesuatu proyek pembangunan, dan berbagai macam peralatan untuk
laboratorium, penelitian, dan sebagainya.
Untuk menjaga bahwa pelunasan pokok dan bunga pinjaman luar
negeri tidak menjadi beban yang terlalu berat di kemudian hari, maka telah
diusahakan agar dana luar negeri tersebut diperoleh dengan syarat-syarat
pinjaman yang sangat lunak, yaitu bunga antara 0 - 3% setahun, grace period
antara 7 - 10 tahun, dan jangka
waktu pembayaran antara 25 - 50 tahun, ataupun berbentuk sumbangan (grant).
Dari Tabel IV - 9 dan Grafiik IV - 6 tampak bahwa jumlah bantuan
luar negeri yang telah disetujui untuk tahun anggaran 1973/74 berjumlah US. $.
856,1 juta, yang berarti kenaikan sebesar 52,6 persen dibandingkan dengan
bantuan tahun 1969/ 70. Dilihat dari
segi komposisi, maka Tabel IV-10 menunjuk-
231
TABEL IV - 9
PERKEMBANGAN BANTUAN LUAR NEGERI
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
PERKEMBANGAN BANTUAN LUAR NEGERI
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
232
GRAFIK IV - 6
PERKEMBANGAN BANTUAN LUAR NEGERI,
1968 dan 1969/70 - 1973/74
1968 dan 1969/70 - 1973/74
233
TABEL IV - 10
KOMPOSISI BANTUAN LUAR NECERI
1968 dan 1969/70 - 1973/74
1968 dan 1969/70 - 1973/74
|
|
|
REPELITA I
|
|
||||||||||
|
Macam
Bantuan 1968
|
1969/70
|
1970/71
|
1971/72
|
1972/73
|
1973/74
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
Juta Persen-
US $ tase
|
Juta
US $
|
Persen-
tase
|
Juta
US $
|
Persen-
tase
|
Juta
US $
|
Persen-
tase
|
Juta
U S $
|
Persen-
tase
|
Juta
US $
|
Persen
tase
|
||||
|
Devisa Kredit 188,9
|
52,0
|
194,6
|
34,7
|
201,7
|
33,5
|
200,2
|
31,1
|
284,7
|
34,6
|
166,E
|
19,5
|
||
|
(Termasuk Ban-
tuan Kapas dan
Benang Tenun)
|
28,5
|
130,1
|
23,2
|
151,1
|
25,1
|
150,5
|
23,4
|
131,9
|
16,0
|
78,9
|
9,2
|
||
Bantuan Pangan 103,4
|
||||||||||||||
|
Bantuan
Proyek
|
71,0
|
19,5
|
236,2
|
42,1
|
249,1
|
41,4
|
292,7
|
46,5
|
406,5
|
49,4
|
610,E
|
71,3
|
|
|
J u m 1 a h
|
363,3
|
100,0
|
560,9
|
100,0
|
601,9
|
100,0
|
643,4
|
100,0
|
823,1
|
100,0
|
856,1
|
100,0
|
|
234
kan bahwa
bantuan proyek meningkat dari 42,1 persen dalam tahun 1969/70 menjadi 71,3
persen dalam tahun 1973/74, sedangkan bantuan Devisa Kredit dan Pangan
masing-masing menurun dari 34,7 persen dan 23,2 persen menjada 19,5 persen dan
9,2 persen dalam periode yang sama.
Sejak tahun 1969/70 komponen bantuan luar negeri yang paling
besar adalah bantuan proyek dengan kenaukan-kenaikan yang besar dalam tahun 1972/73 dan 1973/74.
Kenaikan yang pesat dalam dua tahun terakhir itu mencerminkan kemampuan
Indonesia untuk menyerap bantuan tersebut dan
di samping itu menunjukkan pula meningkatnya
kemampuan kita untuk menyediakan dana rupiah bagi pembiayaan proyek-proyek tersebut.
Bantuan Pangan sejak tahun 1971/72 terus menunjukkan
penurunan yaitu sebesar 0,4 persen dalam tahun 1971/72, 12,4 persen dalam tahun
1972/73, dan 40,2 persen dalam tahun 1973/74. Perkembangan ini sekaligus
mencerminkan kemajuan yang diperoleh dalam produksi pangan di dalam negeri pada
satu pihak dan kesukaran dalam memperoleh bantuan pangan dari luar negeri oleh
karena adanya krisis pangan di dunia pada lain pihak.
Pinjaman dalam bentuk Devisa Kredit mengalami penurunan dalam tahun 1971/72
dan 1973/74 sehingga Devisa Kredit yang diperoleh dalam tahun 1973/74 adalah
14,4 persen lebih rendah dibandingkan dengan jumlah tahun 1969/70. Keadaan ini
disebabkan karena dengan meningkatnya ekspor maka semakin banyak impor barang
modal dan bahan baku telah dapat dibiayai dengan sumber-sumber sendiri.
Tabel IV - 11 menggambarkan perincian persetujuan ban-tuan luar negeri
menurut berbagai negara dan badan-badan internasional. Dari seluruh bantuan
luar negeri yang telah di setujui selama Repelita I, rata-rata 32,1 persen
berasal dari Amerika Serikat, 24,3 persen
dari Jepang, 13,5 persen dari IDA, dan sisanya dari negara-negara
lainnya.
235
TABEL IV - 11
PERSETUJUAN BANTUAN LUAR NEGERI 1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
PERSETUJUAN BANTUAN LUAR NEGERI 1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
236
F. MASALAH HUTANG-HUTANG LUAR
NEGERI
Pada tahun 1966 Pemerintah menghadapi tugas untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan baik dengan peninggalan
hutang-hutang lama maupun dengan kebutuhan akan bantuan keuangan dari luar negeri untuk menyelenggarakan
program-program rehabilitasi dan stabilisasi
ekonomi Indonesia. Dalam bulan April 1970 telah tercapai kata sepakat dengan berbagai negara mengenai penundaan pembayaran kembali
hutang-hutang yang dibuat sebelum 1 Juli 1966. Kata sepakat
tersebut semula tercapai dengan negara-negara yang tergabung dalam "Paris
C1ub", yakni Perancis, Belanda, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Jerman
Barat dan Italia. Pada prinsipnya persetujuan tersebut memungkinkan bahwa: (1)
pokok hutang sebesar US $. 1,7
milyar dibayar kembali dalam jangka waktu 30 tahun terhitung mulai tahun 1970;
(2) bunga yang lama sejumlah US. $. 400
juta dibayar dalam 15 tahun mulai 1985; dan (3) selama 8 tahun pertama sebagian
dari jumlah yang seharusnya dibayar dapat ditangguhkan sampai 8 tahun terakhir dari periode 30 tahun tersebut di atas.
Atas dasar kata sepakat ini kemudian telah diselesaikan persetujuan
bilateral dengan berbagai negara dengan berpegang pada prinsip non-diskriminasi
terhadap negara-negara yang memberikan pinjaman dimasa yang lampau. Dengan menempuh jalan ini maka
sampai dengan tahun anggaran 1973/74 telah diselesaikan persetujuan bilateral
mengenai penundaan pemba- yaran
hutang-hutang lama dengan Amerika Serikat, Belanda, Jerman Barat, Jepang,
Perancis, Italia, Uni Sovyet, Republik Demokrasi Jerman, Cekoslowakia,
Polandia, Rumania, Bulgaria dan
Yugoslavia.
Tercapainya persetujuan bilateral ini berarti bahwa masalah penundaan hutang-hutang lama telah dapat diselesaikan dengan bagian
terbesar dari negara-negara kriditor. Negara-negara yang masih belum mengadakan persetujuan kembali mengenai hutang-hutang lama
adalah Republik Arab Mesir,
India, Pakis-
237
tan, Tanzania dan Republik Rakyat Cina. Berbagai usaha telah dan masih akan dilaksanakan untuk
mencapai persetujuan de- ngan negara-negara tersebut dengan tetap berpedoman pada prinsip persetujuan Paris tahun 1970.
Dengan adanya penyelesaian masalah hutang-hutang lama, maka beban pembayaran kembali hutang-hutang tersebut dapat diperhitungkan dengann lebih tepat
sedang beban pelunasan se- tiap tahunnya menjadi lebih ringan. Keringanan beban pelunasan hutang-hutang lama tersebut sangat besar artinya bagi
kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indanesia dimasa yang akan datang.
Usaha-usaha
untuk menyelesaikan masalah pelunasan pin-
jaman luar negeri secara menyeluruh dibarengi dengan pertumbuhan
penghasilan devisa dari ekspor yang terjadi selama masa Repelita I
mengakibatkan bahwa angka perbandingan antara jumlah pengembalman pinjaman beserta bunga dengan peneri-maan
devisa dari ekspor mulai menurun sejak tahun 1972/73 (lihat
Tabel IV - 12).
TABEL IV - 12
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI,
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI,
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam jutaan US dollar)
Tahun
|
Pelunasan Pinjaman 1) Nilai Ekspor 2)
|
(Persentase
dari
Nilai
Ekspor)
|
|
1968
|
52
|
624
|
(8,3)
|
1969/70
|
44
|
752
|
(5,9)
|
1070/71
|
68
|
896
|
(7,6)
|
1971/72
|
107
|
988
|
(10,8)
|
1972/73
|
106
|
1.373
|
(7,7)
|
1973/74
|
131
|
2.546
|
(5,1)
|
1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah.
2) Termasuk ekspor minyak bumi atas dasar netto.
238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar